KASUS :
Perkelahian antarpelajar sering
terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar
lainnya. Perkelahian tersebut tidak hanya menggunakan tangan kosong atau
perkelahian satu lawan satu, melainkan perkelahian bersenjata, bahkan ada yang
menggunakan senjata tajam serta dilakukan secara berkelompok. Banyak korban
berjatuhan, bahkan ada yang meninggal dunia. Lebih disayangkan lagi, kebanyakan
korban perkelahian tersebut adalah mereka yang justru tidak terlibat
perkelahian secara langsung. Mereka umumnya hanya sekadar lewat atau hanya
karena salah sasaran pengeroyokan. Kondisi ini jelas sangat mengganggu dan membawa
dampak psikis dan traumatis bagi masyarakat, khususnya kalangan pelajar. Pada
umumnya mereka menjadi was-was, sehingga kreativitas mereka menjadi terhambat.
Hal ini tentu saja membutuhkan perhatian dari semua kalangan sehingga dapat
tercipta suasana yang nyaman dan kondusif khususnya bagi masyarakat usia
sekolah.
Data yang dihimpun Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa jumlah apalagi persentase pelajar yang terlibat tawuran tidaklah besar. Namun, dari segi kualitas, kasus yang terjadi sudah membahayakan, baik bagi para pelajar maupun masyarakat lainnya. Pemicu tawuran sering sangat sepele seperti saling mengejek, membela teman yang punya masalah pribadi dengan pelajar di sekolah lain, atau pemalakan. Namun, kenapa hal-hal yang sepele tiba-tiba bisa memicu agresivitas dan keberingasan pelajar yang sama sekali tak mencerminkan "budaya keterpelajarannya"?
Jawaban tentu tak pernah tunggal atau hitam putih. Para ahli yang telah mengkaji masalah ini hampir sepakat bahwa akar masalah tawuran pelajar disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab pada satu kasus tidak selalu sama dengan penyebab pada kasus yang lain. Untuk itu ada baiknya kita memahami berbagai sumber masalah yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa perilaku tawuran tersebut dapat terjadi.
Atas pemahaman terhadap beberapa kemungkinan sumber masalah tersebut di atas, ada beberapa alternatif solusi yang perlu ditempuh sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya kasus tawuran pelajar.
Data yang dihimpun Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya menunjukkan bahwa jumlah apalagi persentase pelajar yang terlibat tawuran tidaklah besar. Namun, dari segi kualitas, kasus yang terjadi sudah membahayakan, baik bagi para pelajar maupun masyarakat lainnya. Pemicu tawuran sering sangat sepele seperti saling mengejek, membela teman yang punya masalah pribadi dengan pelajar di sekolah lain, atau pemalakan. Namun, kenapa hal-hal yang sepele tiba-tiba bisa memicu agresivitas dan keberingasan pelajar yang sama sekali tak mencerminkan "budaya keterpelajarannya"?
Jawaban tentu tak pernah tunggal atau hitam putih. Para ahli yang telah mengkaji masalah ini hampir sepakat bahwa akar masalah tawuran pelajar disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab pada satu kasus tidak selalu sama dengan penyebab pada kasus yang lain. Untuk itu ada baiknya kita memahami berbagai sumber masalah yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa perilaku tawuran tersebut dapat terjadi.
Atas pemahaman terhadap beberapa kemungkinan sumber masalah tersebut di atas, ada beberapa alternatif solusi yang perlu ditempuh sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya kasus tawuran pelajar.
ANALISIS
KASUS TENTANG PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA
Penyebab terjadinya tawuran di
kalangan remaja :
1.
kondisi psikologis. Pelajar yang sedang
menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya,
sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering
digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini
timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah
menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok
pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran
kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai,
mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, ya
itu tadi, berkelahi.
2.
Kedua
masalah yang bersumber dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh
yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta
hubungan yang tidak harmonis antaranggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak
betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya.
Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat,
seperti perkelahian.
3.
Ketiga
masalah yang bersumber dari kerawanan sekolah. Setidaknya ada faktor yang
mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah. Pertama adalah faktor fisik sekolah
seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem
pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak
betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan
kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas
interaksi edukatif di sekolah. Supriyoko (1995) meneliti, kontribusi efektif
faktor lingkungan sekolah terhadap kenakalan pelajar mencapai 13,26%. Ada
stereotipe bahwa sekolah-sekolah tertentu punya tradisi tawuran dan
sekolah-sekolah tertentu menganggap siswa sekolah lain sebagai
"lawan". Tawuran yang terjadi umumnya bukan didasarkan pada
permusuhan pribadi, tapi lebih karena sifatnya yang sudah turun-temurun. Dalam
beberapa kasus, tawuran bisa juga terjadi karena adanya penyerangan atau
pemalakan (perampasan) atas individu suatu sekolah lain yang kemudian memancing
reaksi balik.
4.
Keempat
faktor lingkungan masyarakat. Belakangan budaya kekerasan berkembang di
masyarakat. Media cetak maupun elektronik punya andil yang besar. Aksi
kekerasan telah menjadi menu utama berita yang mereka tampilkan. Tawuran
pelajar sedikit banyak adalah hasil vicarious learning, yaitu proses belajar
melalui peniruan perilaku model yang dilihat dan diidolakan. Dalam beberapa
contoh para pelajar menganggap cara kekerasan cukup efektif untuk mencapai
tujuan.
5.
Kelima
tindakan kurang antisipatif dari aparat keamanan. Mereka sering tak ada atau
kurang cekatan mengamankan daerah yang menjadi ajang tawuran. Dalam hal
penegakan hukum, aparat keamanan kurang memiliki wibawa dan konsistensi untuk
menindak para pelaku. Ada keraguan apakah para pelaku tawuran bisa
dikategorikan sebagai tindak kriminal atau sekadar kenakalan biasa. Melengkapi
identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya tawuran pelajar dalam ilmu
psikologi dikenal adanya teori psikogenis. Teori ini memandang fenomena tawuran
pelajar - yang merupakan bagian dari kenakalan pelajar atau secara lebih luas
penyimpangan perilaku remaja (delikuensi) - dapat saja merupakan kompensasi
dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli
eksternal/sosial. Hampir senada dengan itu, teori sosiogenis yang banyak
dikenal para sosiolog menjelaskan bahwa kasus tawuran pelajar dapat terjadi
murni sosiologis atau psikologis. Ini adalah akibat daripengaruh struktur
deviatif, tekanan kelompok peranan sosial, dan internalisasi simbolis yang
keliru.
Hal-hal yang harus dilakukan agar
tidak terjadinya tawuran antar remaja :
a.
Keluarga
perlu melakukan refleksi atas perannya sebagai lembaga pendidikan yang pertama
dan utama bagi anak. Upaya-upaya yang bisa dilakukan misalnya:
- memberikan bekal pendidikan agama yang cukup;
- menciptakan suasana rumah yang menyenangkan sehingga seluruh anggota
keluarga menjadi betah;
- memberikan perhatian yang cukup pada anak sehingga mereka tidak
mencari perhatian di luar rumah.
- memberikan bekal pendidikan agama yang cukup;
- menciptakan suasana rumah yang menyenangkan sehingga seluruh anggota
keluarga menjadi betah;
- memberikan perhatian yang cukup pada anak sehingga mereka tidak
mencari perhatian di luar rumah.
b.
Perlu
ada reorientasi pendidikan di keluarga dan lebih-lebih di sekolah. Pendidikan
yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu
berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan. Proses pendidikan
hendaknya menempatkan anak sebagai
subyek dan secara optimal dikembangkan untuk lebih kreatif, berinisiatif, dan ada ruang gerak untuk berpendapat.
subyek dan secara optimal dikembangkan untuk lebih kreatif, berinisiatif, dan ada ruang gerak untuk berpendapat.
c.
Telah
disadari bahwa salah satu faktor yang mendorong tawuran adalah makin tidak
adanya ruang/lahan yang dapat dipergunakan untuk berolahraga. Tempat-tempat
tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja, mengingat gelanggang remaja
yang ada sudah tidak lagi mampu menampung kebutuhan. Oleh karena itu, untuk
pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan
olahraga.
d.
Meskipun
lokasi terjadinya tawuran tidak berada di lingkungan sekolah, dan waktu
terjadinya sebelum atau seusai jam pelajaran, secara langsung ataupun tidak
sekolah juga mempunyai andil. Paling tidak secara moral sekolah harus ikut
bertanggung jawab atas terjadinya tawuran yang melibatkan anak didiknya.
Ada beberapa saran tindakan yang
dapat dilakukan pihak sekolah:
-
Sekolah
harus selalu menjaga agar ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar
serta interaksi edukatif dapat dijalankan melalui manajemen kelas dan sekolah
yang efektif.
-
Sekolah
yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang
terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan
kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara
sekolah-sekolah yang secara "tradisional bermusuhan" itu.
·
Aspek fisik:Tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para
siswa. Kerusakan yang parah pada
bus yang dan kaca gedung atau rumah yang
terkena lemparan batu.
·
Aspek mental:Tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang
menjadi korban, merusak mental
para generasi muda, dan menurunkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar