Persepsi, menurut
Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafslrkan pesan.
Menurut Ruch (1967:
300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory)
dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan
kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan
bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola
stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan
bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang
individu.
Dikarenakan persepsi
bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus
tentang kejadian pada saat
tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam
hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau
mengenali obyek dan kejadian obyektif
dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358)
Sebagai cara pandang, persepsi
timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang
sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan
serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi
(Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Dalam hal ini,
persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus
dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara
yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat
cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri
(Gibson, 1986: 54).
G.W. Allport (1935 : 810) mengemukakan sikap adalah keadaan
mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan
pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan
situasi yang berkaitan dengannya.
Krech dan Cructhfield (Sears, Freedman,Peplau,1985 : 138) mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersikap menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu.
Krech dan Cructhfield (Sears, Freedman,Peplau,1985 : 138) mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersikap menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu.
Menurut Sarnoff
(dalam Sarwono, 2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk
bereaksi secara positif (favorably)
atau secara negatif (unfavorably)
terhadap obyek – obyek tertentu. D.Krech dan R.S Crutchfield (dalam Sears,
1999) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari
proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia
individu.
Sedangkan La Pierre
(dalam Azwar, 2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan
diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap
stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994)
memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan
untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada
sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada
benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada
beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri
dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan
sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi
di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan untuk
merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
Perilaku yaitu
suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya,
baik yang diamati secara langsung ataupun yang diamati secara tidak langsung.
Perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus danrespon, serta dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung(Sunaryo, 2004).
Pada umumnya
perilaku manusia berbeda, karena dipengaruhi oleh kemampuan yang tidak sama.
Pada dasarnya kemampuan ini amat penting diketahui untuk memahami mengapa
seseorang berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang lain. Jadi dengan kata
lain perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme yang bersangkutan(
Thoha, 1979)
Menurut Notoadmodjo (2003)
seseorang yang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya dalam
3 tahap, yaitu : pengetahun, sikap, praktek atau tindakan (practice).
- External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri individu.
- Self-perception,yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri ( Sunaryo, 2004 ).
Teori-teori sikap
Terdapat beberapa pandangan/teori tentang
konsistensi sikap, yang pada umumnya berasumsi bahwa orang mencari konsistensi
diantara kognisi, yaitu:
a)
Teori Keseimbangan dari Heider
Menurut Freitz Heider asumsi dasar teori ini
menekankan pada adanya hubungan keseimbangan atau ketidakseimbangan antara unsur-unsur individu (I), orang lain(O) dan
objek sikap (Ob). Keadaan seimbang terjadi jika hubungan antara (I), (O), dan
(Ob) berjalan harmonis, sedangkan jika hubungan ketiganya tidak harmonis
menyebabkan bahwa persepsi orang terhadap bentuk hubungan antara unsure (I),
(O), dan (Ob) memegang peranan penting dalam menentukan keseimbangan yang
terjadi. Dengan demikian menurut teori ini perubahan sikap dapat dilakukan
dengan menciptakan kesamaan persepsi antara dan terhadap sikap.
b)
Teori Konsistensi Afektif-Kognitif dari Rosenberg
Menurut Rosenberg (1960) dalam Fishbein and
Ajzen (1965), teori ini berasumsi bahwa komponen afeksi senantiasa berhubungan
dengan komponen kognisi dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Orang
berusaha membuat kognisinya konsisten dengan afeksinya. Dengan kata lain,
keyakinan seseorang, pendirian seseorang dan pengeetahuan seseorang tentang
suatu fakta sebagian ditentukan oleh pilihan afeksinya. Konsekuensinya bila
terjadi perubahan dalam komponen afeksi akan menimbulkan perubahan pada
komponen kognisi. Untuk itu dalam mengubah sikap, maka komponen afeksi diubah
lebih dahulu kemudian akan mengubah komponen kognisi serta diakhiri dengan
perubahan sikap.
c)
Teori Dimensi Kognitif dari Festinger
Menurut Leon Festinger (1957), asumsi dasar dari
teori ini adalah sikap berubah demi mempertahankan konsistensinya dengan
perilaku nyata. Seringkali manusia dihadapkan pada adanya konflik antara berbagai
kognisi, sikap, bahkan antara sikap dengan perilaku. Keadaan ini disebut
disonasi. Usaha mengurangi disonasi dapat dilakukan dengan mengubah salah satu
atau kedua unsure kognisi, bahkan dapat juga dilakukan dengan menambah kognisi
baru. Cara spesifikyang dilakukan, menurut Azwar (2000), adalah dengan mengubah
perilaku, mengubah unsur kognisi dari lingkungan dan menambah unsur kognisi
yang baru.
d)
Teori Kesesuaian Osgood dan Tannenbaum
Pokok prinsip kesesuaian (congruity principle)
yang dirumuskan oleh Osgood dan Tanennbaum (1955), dalam Secord and Backman
(1964) mengatakan baha unsure-unsur kognitif mempunyai valensi positif atau
valensi negatif dalam berbagai intensitas atau mempunyai valensi nol.
Unsur-unsur yang relevan satu sama lain dapat mempunyai hubungan positif
ataupun negatif. Kesesuaian akan terjadi apabila kesemua hubungan bervalensi
nol atau bila dua diantaranya bervalensi negatif dengan intensitas yang sama.
e)
Teori Fungsional
Katz
Teori fungsional
yang dikemukakan oleh Katz mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana sikap
menerima dan menolak perubahan haruslah berangkat dari dasar motivasional sikap
itu sendiri. Apa yang dimaksud oleh Katz sebagai dasar motivasional merupakan
fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan.
f)
Teori Tiga Proses
Perubahan Kelman
Kelman (1958) dalam
brigham (1991), mengemukakan teorinya mengenai organisasi sikap dengan
menekankan konsepsi mengenai berbagai cara atau proses yang sangat berguna
dalam memahami fungsi pengaruh social terhadap perubahan sikap. Lebih jauh,
teori Kelman sangat relevan dengan permasalahan pengubahan sikap manusia.
Secara khusus Kelman menyebutkan adanya tiga proses sosial yang berperan dalam
proses perubahan sikap, yaitu ketersediaan (compliance), identifikasi (identification)
dan internalisasi ( internalization).
g)
Teori
Nilai-Ekspektansi
Teori
nilai-ekspentasi (expectancy-value theory) mengenai sikap dikemukakan oleh
banyak ahli psikologi. Edward Chace Tolman (1932) dalam Hergenhahn (1982)
mengemukakan konsepnya mengenai perilaku bertujuan (purposive) dimana manusia
belajar akan suatu harapan atau ekspentasi yaitu rasa percaya bahwa suatu
respons perrilaku akan membawa pada suatu peristiwa atau hal tertentu.
Peristiwa atau nilai ini memiliki nilai positif apabila sesuai dengan harapan
(dalam istilah Tolman disebut konfirmasi) dan akan memiliki nilai negatif
apabila tidak sesuai dengan harapan atau tidak terjadi konfirmasi. Konfirmasi
akan memperkuat rasa percaya manusia bahwa suatu respon memang akan membawa
kepada hal tertentu itu (kognisi). Jadi manusia belajar utuk megulang perilaku
yang memiliki nilai positif.
Teori prilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu
dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X
dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di
mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan
terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y.A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.
Penelitian teori x dan y menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state yang membagi kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan struktur. Teori Z dapat anda baca di artikel lain di situs organisasi.org ini. Gunakan fasilitas pencarian yang ada untuk menemukan apa yang anda butuhkan.
Widayatun, Tri Rusmi. 1999, Ilmu prilaku, Jakarta :Sagung Seto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar